Kamis, 15 Juli 2010

Selamat Jalan, Rio

“Waktu ku tinggal sedikit, Indy. Hanya tinggal beberapa hari lagi” , Rio berkata dengan suara pelan ketika kami nge-date untuk kesekian kalinya.

Persahabatanku dengan Rio sudah cukup lama sebenarnya , tetapi frekuensi pertemuan kami dapat dihitung dengan jari. Berawal dari perkenalan di sebuah forum kesehatan, dimana Rio menjadi salah satu moderator di situ. Dari beberapa tanya jawab dan konsultasi, akhirnya kami menemukan kecocokan dan menjadi dekat. Persahabatan antar lawan jenis yang tulus dan tanpa pamrih, tanpa diiringi perasaan lain. Kesibukan dengan rutinitas pekerjaan dan dengan keluarga masing – masing, membuat kami hanya dapat berbicara lewat dunia maya.

Aku menatap wajah tampan di depanku dengan diam, tanpa mampu berkata sedikitpun. Kugenggam erat tangannya, mencoba menyalurkan semua kekuatan yang aku miliki ke dalam dirinya. Dibalik ketegaran dan keceriaannya, dia menyimpan kepedihan yang begitu dalam.

“Rio, Tidakkah kamu ingin menceritakan hal ini kepada Lia? Dia istrimu, Rio. Dia berhak tahu apa yang sedang kamu alami. Ijinkan dia untuk ikut menanggung semua itu, Rio.” Kataku pelan sambil tanganku tetap menggenggam tangannya.

“Tidak, Indy. Aku tidak ingin melihat dia sedih, aku tidak ingin hari – hari nya yang ceria dirusakkan oleh penyakitku. Kebahagian dan keceriaan dia adalah salah satu sumber semangatku. Biarlah dia tetap ceria dan menularkan keceriaan itu untuk dua malaikat kecil kami. Berita tentang penyakitku hanya akan membuat dia lemah, dan akan berdampak buruk untuk anak – anak “, Rio menjawab dengan suara pelan tetapi tegas.

Lagi – lagi aku hanya dapat terdiam mendengar penjelasannya. Begitu besar kasih mu untuk keluargamu, Rio. Hingga kamu rela menanggung semua penderitaan itu sendiri, bahkan ketika kamu tahu kalau kebersamaanmu dengan mereka hanya tinggal hitungan hari.

“Aku hanya ingin sisa hidupku berguna untuk orang lain, Indy. Aku tidak ingin mereka melihatku sebagai orang yang lemah dan harus dikasihani. Aku tidak mau membuat orang – orang yang aku sayangi menangis disampingku meratapi penyakitku” , suara Rio memecah keheningan di antara kami.

“Ya, aku tahu Rio. Aku dapat mengerti apa yang kamu inginkan. Tetapi Rio, cobalah untuk mengurangi aktifitas kamu. Berhentilah dari forum kesehatan yang sering menyita waktu tidur kamu. Setidaknya kamu tidak terlalu lelah, Rio.Coba lihat dirimu yang sekarang, Rio. Wajahmu begitu pucat dan ada garis hitam di bawah mata. Kamu tidak ingin membuat Lia bertanya – tanya kan? “ , sahutku mencoba menyadarkannya.

“Lelah atau tidak, itu tidak berpengaruh untuk usia aku, Indy. Kalau aku boleh minta sama Tuhan, aku akan minta supaya Tuhan tidak memberiku rasa ngantuk. Sehingga waktu 24 jam dapat aku gunakan sepenuhnya untuk berkarya dan membawa kebaikan untuk orang lain. Waktuku tinggal sedikit, Indy. Aku sebenarnya takut menghadapi ini, karena itu aku tidak ingin memejamkan mataku walau hanya sedetik. Aku takut jika aku memejamkan mataku, aku tidak dapat membukanya lagi “ , kata Rio sambil berusaha tetap tenang. Genggaman tangannya semakin kuat mengenggam ku.

“Aku tahu dan dapat mengerti, Rio. Mungkin aku juga akan bersikap sama jika aku ada di posisi kamu. Tetapi aku tidak dapat setabah kamu. Kamu begitu tabah dan kuat sehingga tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa di balik tubuhmu yang gagah, ternyata menyimpan suatu penyakit yang berbahaya “, sahutku pelan.

Tiba – tiba Rio memelukku dan menumpahkan tangisnya dibahuku. Bahunya berguncang menahan isak yang hampir keluar. Rio semakin erat memelukku, mencoba meluapkan semua emosinya dalam rengkuhanku. Beberapa saat kami berpelukan , tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Dadaku terasa sesak dan sedih. Apa yang dapat aku lakukan untuk menghibur mu, Rio ? Sampai kapan kamu akan menutupi penderitaan kamu dari semua orang yang mengasihimu? Aku berteriak dalam hati.

“Aku takut, Indy. Aku tidak mau mati sekarang, aku masih ingin bermain bersama anakku, aku masih ingin mendampingi Lia dan membuatnya bahagia. Pernikahanku baru 6 tahun, Indy. Baru 6 tahun Lia menyandang status Nyonya Rio, tetapi sebentar lagi aku akan memberikan status baru untuknya. Ya, Lia akan menjadi seorang Janda. Indy, aku tidak rela, Indy. Mengapa semua ini tidak adil buatku? “ ratap Rio dengan pilu.

Semakin kuat Rio memelukku, dan kurasakan tubuhnya berguncang semakin hebat menahan kepedihan yang begitu dalam. Kubiarkan bajuku basah oleh air mata Rio yang semakin banyak tertumpah.

Perlahan Rio mulai melepaskan pelukannya dengan wajah tetap tertunduk. Kuambil tissue basah dari dalam tas dan ku usap air mata yang masih tersisa di pipi nya dengan pelan dan lembut. Wajah tampan di depanku sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini. Persahabatan yang telah terjalin cukup lama, membuat kami sangat dekat. Walaupun komunikasi dilakukan hanya lewat dunia maya, tetapi tidak membuat persahabatan kami diwarnai kepalsuan. Masih kuingat saat Rio pertama kali divonis oleh dokter kalau dia menderita leukemia dan diperkirakan masa hidupnya tinggal beberapa bulan. Betapa depresinya dia saat itu. Rio tidak percaya terhadap diagnosa itu, dia masih mencoba untuk periksa ke dokter lain. Tetapi diagnosa dari 3 dokter menyebutkan hal yang sama. Beberapa hari Rio seperti mayat hidup dan tidak punya semangat. Ditengah kekalutannya, Rio mendatangi seorang psikiater. Psikiater tidak dapat membantu banyak, dan Rio tetap sendiri dengan depresinya. Akhirnya Rio mencoba menjalani semua dengan ikhlas dan tabah.

Kepeduliannya kepada sesama dan keinginan kuat untuk memberikan sisa hidupnya untuk orang lain, membuat Rio tidak mempedulikan rasa sakitnya. Dia masih tetap setia menjadi salah satu moderator di sebuah forum kesehatan, masih melayani konsultasi kesehatan dan psikologi dari siapapun dan jam berapapun. Tak pernah sekalipun dia kelihatan sakit di depan orang lain.

Beberapa hari kemudian , ku tanyakan kabarnya lewat SMS “Rio, bagaimana keadaan kamu hari ini ?”

Tidak seperti biasa, Rio tidak langsung membalas SMS ku. Mungkin Rio sedang sibuk dengan pasiennya, begitu pikirku. Aku kembali disibukkan dengan pekerjaanku hingga lupa kalau Rio belum memberi kabar.

Kring……suara telpon di tengah malam membangunkan tidur lelapku. Dengan malas, kuangkat telpon “ Hallo…..”

“Indy, maaf aku mengganggu tidurmu malam – malam “, suara diseberang sana yang sangat aku kenal membalas sapaanku.

“Oh, kamu Rio. Gak apa Rio, aku tidak terganggu kok. Bukankah kamu sudah biasa menggangguku ? “ sahutku dengan becanda.

“Indy, aku merasa waktuku tidak akan lama lagi, Indy. Aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Aku sudah pasrah dan ikhlas “ suara Rio terdengar terbata – bata.

Suasana hening sejenak, aku sibuk menata hatiku sendiri. Aku tahu waktu Rio tidak akan lama lagi.

“Maukah kamu berdoa bersamaku, Rio ?” tanyaku.

Dan kami pun mulai berdoa bersama.

Tuhan yang Maha Kasih,

Kami menghadapmu kembali unttuk mengucap syukur untuk penyertaan-Mu selama ini kepada Rio , untuk kekuatan dan ketabahan yang sudah Engkau berikan.

Kami tidak tahu apa yang menjadi rencana-Mu,

Tetapi kami tahu dan percaya bahwa rencana-Mu pastilah yang terbaik

Kami serahkan semua rasa sakit ini kepada-Mu ya Tuhan

Kami serahkan hidup kami sepenuhnya ke dalam tangan Mu, Tuhan

Biarlah kehendak-Mu yang terjadi dalam hidup kami.

Amin

“Terima kasih, Indy. Aku sudah tenang sekarang karena ada Tuhan yang akan selalu menjagaku”, Rio berkata di seberang sana.

“Indy, maukah kamu berjanji untukku ?” Tanya Rio

“Ya, apa yang kamu ingin untuk aku lakukan, Rio ?” tanyaku dengan lembut.

“Berjanjilah untuk tidak mengatakan kepada siapapun tentang penyakitku, tentang semua yang aku alami. Aku tidak ingin membuat Lia dan anak – anak sedih. Berjanjilah, Indy “, pinta Rio dengan perlahan.

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab “Ok, aku berjanji akan menyimpan semua ini seorang diri “ .

“Terima kasih , Indy. Terima sudah mau menjadi pendengar ku selama ini. Sekarang aku sudah tenang, aku akan tidur. Selamat malam, Indy “, terdengar suara telpon ditutup dari seberang sana.

Kupandangi sosok yang terbujur kaku di depanku, ada senyum dan ketenangan di wajahnya yang pias. Rio menghadap Tuhan tepat satu jam setelah dia menelponku. Beristirahatlah dalam damai, sahabatku. Aku ikut berbahagia karena engkau sudah bersama Tuhan sekarang dan sudah terlepas dari semua penderitaanmu. Selamat Jalan, Rio.

Tmg, 19 April 2010

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Wah...pertamaxxxxxxxxxx nih.... hehehe

Dion mengatakan...

semakin dewasa ne tulisanya...sippp dach pokoknya...heheheh