Senin, 11 April 2011

Jaga Selalu Hatimu (2)

“Adit, serius dikit dong dit. Jangan becanda terus, nanti tugas kita gak selesai deh. Padahal besok kan harus dikumpulkan “, pinta Laras dengan muka cemberut.

“Hehehe iya Laras sayang, aku akan lebih serius lagi deh. Udah jangan cemberut gitu donk, nanti mukanya jadi keriput dan jelek seperti nenek sihir lho “, goda Adit sambil memasang wajah lucu.

“Adit......udah deh, udah ya...sekarang kita fokus ke tugas kita dulu. Ok ?”, kata Laras sambil memelototkan mata nya yang memang sudah besar.

“Baik , Ibunda ratu. Hamba akan mulai mengerjakan tugas ini “, sahut Adit.

“Adit......”, teriak Laras sambil melempar bantal kursi ke arah Adit.

“Hahaha ...ok...ok...sekarang aku mau serius deh “, sahut Adit sambil mengacak – acak rambut Laras.

Mereka tertawa bersama, hingga tak sengaja Laras menoleh ke arah pintu ruang tamu.

“Lho Hans, sejak kapan kamu berdiri di situ? Ayo masuk sini “, Laras menghampiri Hans yang sedari tadi hanya berdiam di pintu menyaksikan Adit dan Laras bercanda.

“Sudah sejak tadi aku berdiri di pintu, aku coba mengetuk tetapi kalian sedang asyik sendiri. Aku hanya sebentar kok Laras, aku hanya mengantarkan undangan untuk acara besok di Balai Kota. Kepala Sekolah menugaskan kita berdua untuk datang ke acara itu “, sahut Hans sambil menyodorkan sebuah amplop ke Laras.

“Kita berdua ? Maksudnya aku dan kamu ? “, tanya Laras.

“Betul, Laras. Besok kita bertemu di sana jam 7 pagi ya. Sekarang aku pamit pulang dulu “, sahut Hans yang langsung membalikkan badan dan berlalu dari rumah Laras.

Dalam perjalanan pulang, Hans masih terbayang – bayang dengan peristiwa di rumah Laras tadi. Keakraban antara Adit dengan Laras masih mengganggu pikiran Hans. Hmmm ternyata kamu jutek ke aku karena kamu sudah punya cowok ya Laras, batin Hans. Ada perasaan aneh yang singgah di hati Hans ketika menyadari kalau Laras sudah memiliki Adit. Rasanya seperti ingin marah, ingin teriak, dan ada yang mengiris – ngiris hatinya sedikit. Perih, apakah ini yang namanya cemburu ya ? Hans bertanya – tanya sendiri. Tetapi mana mungkin aku cemburu terhadap Laras, dia hanya gadis biasa yang gak modis, gak menarik baik dari body, wajah maupun gaya nya.

Keesokan paginya Laras datang ke balai kota dengan diantar oleh Adit menggunakan sepeda motor butut milik Adit yang suaranya berisiknya minta ampun. Di pintu gerbang, nampak Hans sudah menunggu Laras karena satu undangan untuk berdua sehingga untuk masuk ke dalam Hans harus bersama – sama dengan Laras.

“Ayo Laras, acara sudah hampir dimulai. Mengapa kamu datang sesiang ini ?”, tanya Hans sambil menarik tangan Laras.

“Lepaskan tanganku , Hans. Aku harus berbicara dengan Adit dulu untuk meminta dia menjemputku nanti siang “, sahut Laras hendak membalikkan badannya ke arah Adit.

“Gak perlu, Laras. Nanti aku akan mengantarmu pulang “, sahut Hans dengan tegas dan kembali menarik tangan Laras.

Ada senyum kemenangan singgah di wajah Hans karena berhasil membuat Laras tidak menemui Adit lagi. Dan yang paling penting, dia bisa berdua dengan Laras sepanjang hari itu. Eits, mengapa aku sesenang ini ya bisa berdua dengan Laras? Apakah aku sudah jatuh cinta dengan Laras? Hmmm ga mungkin aku jatuh cinta dengan Laras. Dia bukan typeku, aku hanya merasa tertantang saja untuk menaklukan dia. Apalagi setelah tau kalau Laras sudah memiliki Adit yang juga biasa – biasa saja. Aku pasti bisa merebut Laras dari tangan Adit ,tekad Hans dalam hati.

Laras gelisah , berkali – kali dia melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia tak ingin waktu cepat berlalu, dia ingin berada berdua bersama Hans lebih lama lagi. Baru sekali ini mereka benar – benar menghadiri sebuah acara hanya berdua saja. Laras jadi teringat lagu Kemesraannya Iwan Fals. Kemesraan ini janganlah cepat berlalu ....doa Laras dalam hati. Kok kemesraan ya? Apa – apaan aku ini. Aku sudah memiliki Adit, tetapi mengapa aku masih mengharapkan berlama – lama dengan Hans ? Tetapi rasa ini benar – benar gak bisa aku hilangkan dan gak pernah aku miliki selain terhadap hans, bahkan rasa terhadap Adit sekalipun ga pernah sedalam ini. Perasaan bersalah menghinggapi Laras ketika dia mengingat Adit, cowok baik dan sederhana yang selalu ada buat dia. Adit yang selalu mengerti aku dan selalu melindungiku, dia terlalu baik untuk aku sakiti.

Minggu, 27 Maret 2011

Jaga Selalu Hatimu (1)

Laras keluar dari ruang Osis dengan hati puas setelah dia berhasil mementahkan ide Hans untuk acara 17 Agustus yang akan diadakan di sekolah. Entah sudah keberapa kali dia berhasil mementahkan ide – ide dari Hans walaupun sebenarnya ide – ide Hans itu cukup bagus, gak kalah bagusnya dengan ide – ide yang Laras lontarkan. Tetapi berkat kepiawaian Laras dalam mengolah kata, akhirnya ide – ide Laras lebih sering dipakai daripada ide – ide Hans.

Sementara itu, Hans yang masih terbengong – bengong dengan hasil rapat Osis tadi hanya dapat memandangi kepergian Laras dengan pandangan penuh tanya. “ Gadis yang aneh, sunguh – sungguh aneh. Mengapa ya Laras selalu bersikap tidak bersahabat terhadapku, padahal banyak gadis – gadis lain yang rela bermanis – manis hanya untuk mendapatkan perhatian dan sapaanku ? “, kata Hans dalam hati.

“Laras....tunggu ...”, kejar Hans ketika dia melihat Laras hendak melangkah keluar dari gerbang sekolah.

“Ooo kamu ternyata yang memanggilku. Ada apa, Hans ? Bukannya hasil rapat sudah diputuskan tadi? Dan kamu juga tau kan kalau aku tidak mau membahas tentang kegiatan Osis di luar jam sekolah “, kata Laras sambil menghentikan langkahnya.

“Hmmm aku gak akan membicarakan tentang kegiatan Osis kok. Ada yang ingin aku tanyakan , aku harap kamu mau menjawab dengan jujur”, Hans menatap mata Laras dengan tajam.

“Ok, apa yang akan kamu tanyakan ? Tolong cepat Hans, karena aku tidak memiliki banyak waktu”, kata Laras sambil balas menatap Hans.

“Mengapa kamu selama ini selalu bersikap tidak bersahabat denganku , Laras? Apakah aku pernah berbuat salah kepadamu ?”, tanya Hans.

“Aku bersikap tidak bersahabat? Hmm itu hanya perasaanmu saja, aku tidak merasa bersikap seperti itu. Jangan ge er, please...Udah, aku mau pulang sekarang “, sahut Laras sambil berlalu meninggalkan Hans yang hanya mampu terbengong mendengar jawaban Laras yang sama sekali tidak dia duga.

Laras merebahkan dirinya di tempat tidur tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu seperti biasa. Pikirannya menerawang ke peristiwa di sekolah tadi. Hans...hans...sampai kapan sih kamu akan berhenti jadi anak manja dan menjadi dewasa ? Sampai kapan sih kamu dapat menjadi diri kamu sendiri tanpa pengaruh kekayaan dan ketampanan kamu? Sampai kapan kamu akan sadar kalau sebenarnya aku selalu menyupport kamu dengan sengaja mementahkan ide – ide kamu dengan harapan kamu dapat lebih kreatif lagi sebagai ketua Osis?

Tanpa sadar, air mata membasahi pipi Laras. Tahukah kamu Hans, kalau sebenarnya aku sangat menyayangi kamu? Sadarkah kamu Hans bahwa sebenarnya sikap jutekku hanya untuk menutupi perasaan aku yang sesungguhnya ? Aku sadar dan tau diri, siapa aku dan siapa kamu. Perbedaan kita terlalu jauh dan aku tidak ingin harga diriku diinjak – injak hanya karena aku orang miskin. Aku hanya dapat menyupport kamu dari belakang, Hans. Aku tulus menyayangi kamu sebagai pribadi , bukan dari apa yang kamu miliki. Maafkan aku Hans, kalau sikapku membuat kamu bertanya – tanya dan bingung.

Setelah sadar kalau Laras meninggalkannya, Hans segera menuju ke mobilnya, mobil Xtrail yang diberi papa nya sebagai kado ulang tahun satu bulan yang lalu. Hans mengendari mobilnya perlahan karena sebenarnya jarak dari sekolah ke rumahnya tidak terlalu jauh. Bayangan sikap Laras yang jutek tadi masih membekas di hati nya. Mengapa dia bisa sejutek itu denganku ya? Padahal aku tau, Laras itu orang yang baik dan ringan tangan. Dia juga termasuk orang yang sabar, terbukti dari sikap – sikap dia ketika kunjungan ke panti jompo beberapa waktu lalu. Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan dia? Urusan dengan dia hanya sebatas urusan Osis saja, gak lebih dari itu. Sekarang lebih baik aku menelpon Linda dan mengajaknya kencan.

Kamis, 09 Desember 2010

Share : Flu Singapura

Flu Singapur atau HFMD pernah ramai diperbincangkan sekitar tahun 2009. Sempat baca sekilas waktu itu, tetapi saya abaikan karena saya pikir siapa sih yang mau pergi ke sana. Tetapi ternyata saya keliru, tidak disangka dan tidak diduga si kecil terkena Flu Singapur itu. Memang sih ini hanya analisa saya, karena saya memang tidak membawa Damar ke dokter. Tetapi berdasarkan search dan googling serta konsultasi dengan seorang sahabat yang berprofesi Dokter.


Tadinya saya sempat panik juga, ketika googling dan ternyata yang diderita Damar mirip dengan orang yang terkena Flu Singapur. Dulu sempet dengar juga kalau Flu tersebut berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Untungnya di tengah kepanikan tersebut, saya sempat chatting dengan seorang sahabat dan teman kost di rumah kost YN ( say thank you to dr. Imel ) yang memberi saya ketenangan dan memberi saya beberapa masukan.


Berawal ketika jumat siang Damar mengeluh pusing dan sedikit demam. Saya pikir karena damar kecapekan karena perut Damar juga gak kembung. Tetapi Saya lihat ada bintik – bintik merah di telapak tangan dan kaki Damar .Sebagian berair dan sebagian tidak. Bintik – bintik merah tersebut tidak menyebabkan gatal atau sakit. Damar hanya mengeluh sakit di sekitar lutut kaki.Menjelang tidur, saya beri Damar obat penurun panas supaya Damar dapat tidur nyenyak.


Hari sabtu Damar masih demam dan mulai muncul sariawan di sudut bibir kiri dan kanan. Tetapi Damar masih dapat makan dan minum walaupun pelan – pelan. Heran juga kok Damar bisa sariawan ya, karena konsumsi buah dan sayur nya cukup. Tiap hari Damar konsumsi jeruk 2-3 buah, berarti untuk vitamin C nya sudah terpenuhi kan? Ternyata beberapa teman sekelas Damar juga menderita sariawan. Muncul pertanyaan juga waktu itu, masa sariawan menular sih? Hehehe…..Seharian kami usahakan Damar untuk lebih banyak konsumsi sayur dan buah nya supaya daya tahan tubuhnya meningkat.


Hari minggu demam sudah reda, tetapi Damar kesulitan untuk makan dan minum. Untuk membuka mulut saja susah, apalagi untuk makan dan minum. Sedih sekali melihat kondisi Damar seperti itu. Tetapi tetap diupayakan supaya ada cairan dan bahan makanan yang masuk walaupun harus dipotong sekecil mungkin supaya waktu disuapin tidak mengenai sariawannya.

Hari Senin Damar terlihat agak pucat karena dari hari Sabtu memang tidak ada nasi yang masuk ke perutnya. Obat sariawan yang dibeli waktu hari minggu pun tidak berpengaruh terhadap sariawannya. Akhirnya saya googling untuk mencari obat sariawan yang bagus dan aman untuk anak kecil. Dari hasil googling, baru ketauan kalau Damar terkena flu singapur. Awalnya cukup panik juga karena pernah dengar kabar kalau flu singapur itu berbahaya ,dsb. Setelah membaca artikel dan konsultasi dengan seorang sahabat , akhirnya saya cukup tenang juga karena ternyata flu tersebut dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 7-10 hari. Yang menjadi konsentrasi saya pada saat itu sudah bukan flu singapur nya lagi, tetapi bagaimana menjaga kondisi Damar supaya tidak dehidrasi dan meningkatkan daya tahan tubuh nya. Susu Damar pun kemudian saya ganti dengan susu pediasure complete ( maaf menyebut merk ) yang merupakan makanan cair. Saat membuat susu, saya campur dengan madu dan air buah pir untuk kecukupan nutrisi nya karena buah pir bagus juga untuk pencernaan , mengingat sudah beberapa hari Damar tidak kemasukan bahan makanan. Setelah minum susu, 1 jam kemudian saya beri kandistatin ( maaf sebut merk lagi ) untuk pengobatan sariawannya. Senin sore rencananya saya bawa Damar ke dokter supaya mendapat obat untuk penghilang nyeri nya, tetapi apa daya dua dokter langganan kami tutup semua karena memang bertepatan dengan harpitnas dan malam 1 Suro.

Hari Selasa Damar sudah tidak terlihat pucat walaupun masih belum selincah biasa, tetapi sudah cukup membuat saya lega karena Damar tidak dehidrasi. Tetap diupayakan untuk minum pediasure dan roti regal sedikit demi sedikit, juga asupan air putih serta olesan blue band di bibir supaya bibir tidak kering.

Hari Rabu, keadaan masih sama seperti hari Selasa. Tetapi puji Tuhan malamnya Damar sudah dapat makan nasi. Dan keadaan berangsur membaik hingga sekarang. Damar sudah dapat beraktifitas seperti semula, lengkap dengan keusilan dan kekritisannya.


Informasi seputar HFMD dapat dibaca di : http://www.tanyadokteranda.com/penyakit/2010/08/apa-itu-flu-singapura

Temanggung, 10 Desember 2010

Kamis, 07 Oktober 2010

Kau di Hatiku Selamanya

Aku sedang mengamati penumpang yang berdatangan sambil menunggu pesawat untuk tinggal landas, ketika aku melihat sosok yang begitu aku kenal. Pria itu sedang menuju kursinya, tepat dua baris di depanku. OMG, tiba – tiba jantungku berdebar tak menentu. Dengan gemetar, kuambil majalah dari kantong kursi di depanku dan kuletakkan ke wajahku.Tuhan, semoga dia tidak melihatku. Begitu doaku dalam hati. Beberapa detik, kuturunkan majalah sedikit dari wajahku, bermaksud untuk mengintip apakah situasi sudah aman buatku untuk menyingkirkan majalah itu dari wajahku. Kutarik nafas lega begitu aku melihat sosoknya sudah duduk di kursi.

Kuamati sosok itu diam – diam dari tempat dudukku, sosok itu masih terlihat tegap dan kekar dengan tampang cool nya yang membuat banyak cewek berusaha menarik perhatiannya. Di bahu nya itulah dulu aku suka menyandarkan kepalaku saat menikmati waktu berdua bersamanya. Tertawa bersama, mengisi waktu luang bersama. Walaupun aku sering menggigit bibir jika aku melihat dia sedang dikelilingi oleh cewek – cewek yang berusaha menarik perhatiannya. Cewek – cewek cantik dan kaya yang pantas untuk bersanding dengannya dibandingkan aku. Tetapi lagi – lagi dia bisa meyakinkanku bahwa hanya ada aku di hati nya.

Tiba – tiba hatiku terasa perih, sangat perih..kenangan menyakitkan itu muncul lagi , saat dimana orang tuaku berusaha memisahkanku dari Bram. Ya, nama pria itu Bram. Orang tuaku memaksaku pulang kampung untuk dijodohkan dengan anak dari salah seorang kerabat. Semakin kuat aku mempertahankan Bram, semakin gigih pula orang tuaku memisahkanku dari Bram. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi diantara kami. Hingga akhirnya orang tuaku menghadapkanku pada pilihan yang sulit, antara memilih mereka atau memilih Bram. Tak mau dikatakan anak durhaka, akhirnya aku memilih untuk mengikuti mereka dengan satu syarat. Aku akan pulang jika aku diijinkan untuk menemui Bram untuk terakhir kalinya.

Pertemuan terakhir dengan Bram cukup singkat karena aku hanya diberi waktu 5 menit sebelum aku boarding. Tak ada kata perpisahan, tak ada pelukan karena aku tak mau dia melihatku bersedih dan semakin sulit melepasku. Kukeluarkan sebungkus kado dari dalam tasku dan kuberikan kepada nya sebelum aku meninggalkannya. Deg…aku teringat baju yang tadi dikenakan Bram . Bukankah itu kado perpisahan dariku? Ternyata Bram masih menyimpannya hingga kini. Apakah itu berarti Bram juga masih menyimpanku di hatinya ? Apakah Bram masih mencintaiku.? Ingin kupanggil dia dan kutanyakan hal itu kepadanya sambil merebahkan dadaku di pelukannya seperti yang dulu sering aku lakukan. Dada yang selalu membuatku merasa hangat dan nyaman..

Plok…waduh apa yang aku pikirkan tadi? Dia hanya bagian dari masa lalu, yang gak akan mungkin bisa kembali. Aku sudah berbahagia sekarang dengan keluargaku. Aku memiliki keluarga yang harmonis, walaupun jujur saja aku tidak pernah bisa menghilangkan dia dari hatiku. Ssst …jangan bilang – bilang yah kalau aku masih menyimpan orang lain di hatiku…Capek dan lelah sebenarnya harus membohongi diri sendiri dan orang lain selama bertahun – tahun kalau sebenarnya aku masih mencintai Bram. Masih menyimpan namanya di lubuk hati ku yang paling dalam.

Tak terasa pesawat sudah mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta. Para penumpang bergegas menurunkan barang – barang mereka dari bagasi sambil menunggu pintu pesawat terbuka. Aku masih tetap di tempat dudukku dengan majalah menutupi wajahku, menunggu hingga semua penumpang turun dari pesawat. Berharap tidak berjumpa dengan Bram. Tak kupedulikan orang – orang yang memandangku dengan tatapan heran. Beberapa saat kemudian kuturunkan majalah dari wajahku setelah tidak ku dengar langkah – langkah kaki. Dan ternyata…bram sedang berdiri di depanku dan memanggil namaku ..

”Richard…!”


Temanggung, 7 Oktober 2010

Kamis, 19 Agustus 2010

Benarkah Kita sudah Merdeka ?

Fiuh….akhirnya selesai juga latihan upacara untuk tanggal 17 Agustus nanti. Hari minggu yang biasanya buat bermalas – malasan, kali ini aku isi dengan latihan upacara di sekolah. Panas matahari yang menyengat membuat rasa hausku semakin menjadi. Terbayang es buah buatan Mama yang selalu menjadi menu buka puasa setiap hari. Segarrrr rasanya…..”Hummm mampir ke warung mbah Min dulu untuk minum es teh enak kali ya “, kataku dalam hati.

Tengok kanan , tengok kiri ..aman deh tidak ada orang di sekitarku. Aku segera beranjak ke warung mbah Min yang terletak di seberang sekolah dan memesan satu gelas es teh manis kesukaanku. Sebenarnya bukan kesukaanku sih, tetapi es teh selalu mengingatkanku akan seseorang yang hoby sekali dengan minuman ini. Kapanpun dan dimana pun dia tak pernah lupa untuk memesan minuman ini.

“Lho Kakak gak puasa ya ?”, tegur seseorang ketika aku hendak memasukkan sedotan ke mulutku.

“Andin, ngapain di sini ?”, tanyaku setelah hilang kekagetanku. Andin adalah anak Bi Inah, PA yang bekerja di rumah kami.

“Andin tadi sedang melihat latihan upacara di sekolah Kakak. Andin ingin sekali dapat mengikuti upacara lagi, Kak.”

“Hari Selasa besok kan Andin dapat ikut upacara untuk memperingati kemerdekaan Negara kita “ , kataku mengingatkan.

Andin terdiam mendengar kata – kataku dan menundukkan kepalanya. Tiba – tiba aku melihat ada butiran air jatuh dari kepala Andin yang tertunduk.

“Lho Andin ..Andin mengapa menangis ? Ada kata – kata Kakak yang salah ya ?”

Andin menggelengkan kepala dan tetap membisu. Aku biarkan Andin hingga Andin tenang dan menyelesaikan tangisnya. Tak lama kemudian Andin menghela napas dan mengangkat kepalanya.

“Andin sudah lama tidak sekolah , Kak. Ibu tidak punya uang untuk membiayai sekolah Andin. Untuk makan sehari – hari saja kami masih belum cukup,walaupun Ibu sudah dibantu oleh Kakak Andin. Kadang Andin hanya makan satu kali dalam sehari karena kalau Andin makan tiga kali , nanti adik – adik Andin yang tidak dapat makan kenyang”.

Kali ini giliran aku yang terdiam. Andin yang masih sekecil itu harus mengorbankan diri nya untuk adik – adiknya. Gadis kecil yang kuat,sedangkan aku ? Untuk menahan haus sebentar saja aku hampir gak bisa.

“Ayo Andin, Kakak antar Andin pulang. Andin mau kan gonceng Kakak naik sepeda ?”, ajakku setelah aku membayar segelas es teh yang tidak jadi aku minum tadi.

Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan karena takut angin atau lubang akan menjatuhkan tubuh Andin yang kurus. Ketika tiba di belokan jalan menuju rumah Andin, aku melihat banyak orang keluar dari sebuah rumah.

“Di kampung Andin sedang ada yang punya hajat ya ?” , tanyaku sambil menunjuk ke rumah tersebut.

“Mana Kak ? Ooo itu, itu bukan ada hajatan , Kak. Tetapi orang – orang itu baru saja selesai melakukan ibadat di situ. Tiap hari minggu kami selalu melakukan ibadat bersama walaupun berpindah – pindah tempatnya “.

“Oo begitu. Kakak kira ada yang punya hajat di sini. Jadi habis dari gereja setiap minggu nya, Andin dan yang lain kemudian berkumpul lagi untuk melakukan ibadat bersama ?”

“Bukan begitu, Kak. Kami mengadakan ibadat di rumah penduduk, karena kami tidak memiliki bangunan gereja. Kata Ibu sih dari waktu Ibu masih kecil , warga sudah mengajukan ijin untuk mendirikan gereja di sekitar sini sehingga kami tidak harus menempuh perjalanan 2 jam untuk mengikuti misa tiap minggu nya. Andin juga gak tau Kak, mengapa sampai sekarang gereja belum juga dibangun.”

Aku terdiam lagi mendengar penjelasan Andin. Gadis kecil yang benar – benar kuat dan tabah, begitu banyak kepahitan yang harus dia alami di usia nya yang masih sangat muda.

Akhirnya kami tiba juga di rumah Andin, sebuah rumah mungil yang sangat sederhana. Andin menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya yang mungil. Di halaman depan aku melihat ada dua anak kecil yang usianya lebih muda dari Andin. Mungkin mereka adik Andin, kataku dalam hati. Walaupun Bi Inah bekerja di rumah, aku tidak begitu tahu tentang keadaan dan keluarga Bi Inah.

Aku pandangi ruang tamu rumah mungil itu, genteng atap terlihat jelas. Lantai yang belum sempat di semen dan dinding bambu merupakan komponen yang mendukung berdirinya rumah mungil itu. Sepintas aku melihat foto seorang gadis berusia sekitar 17 tahun di dinding foto itu.

“Itu Kak Santi, Kakak Andin yang kerja di luar negeri sekarang. Tetapi Kak Santi sebentar lagi akan pulang dan gak mau pergi ke sana lagi . Kata Kak Santi, Kak Santi gak mau kerja di Negara yang sudah menjajah Negara kita diam – diam. Andin bingung kok Kak Santi bilang kalau Negara kita dijajah ya Kak? Kan di Negara kita tidak ada perang senjata dor..dor..dor..? “, tanya Andin sambil menatapku.

AKu tersenyum mendengar pertanyaan Andin.

“Menjajah itu beda dengan perang, Andin. Kalau yang Andin bilang tadi, itu adalah perang senjata. Kalau menjajah itu artinya menindas atau menyusahkan pihak lain. Memangnya Kak Santi kerja di Luar negeri nya dimana, Andin ?”

“Andin gak tahu, Kak. Tapi Andin ingat Ibu pernah bacain surat dari Kak Santi yang ada kata – kata tari pendet dan lagu Rasa Sayange , Kak”.

# # #

Itulah pengalaman ku hari ini, diary. Pengalaman yang sangat berharga dan membuka mata serta menyisakan sebuah pertanyaan yang tak dapat aku jawab “ Benarkah kita sudah merdeka ?”

Temanggung, 19 Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Selamat Jalan, Mo Met


“Romo Blas meninggal semalem, mba…”, begitu kata seorang teman begitu aku tiba di kantor. Seketika aku terdiam dengan pandangan tak percaya.

Segera ku buka facebook dan email untuk mencari kebenaran berita itu. Dan ternyata berita itu benar. Aku membaca tulisan dari Lini dan Mbak Ratna tentang kepergian beliau tadi malam jam 21.30 di RS Elisabeth Purwokerto.

Aku mengenal Romo Slamet lewat dunia maya, kami memang belum pernah bertatap muka secara langsung. Hanya lewat email, chatting, sms dan telpon. Waktu pertama berkenalan, beliau memintaku untuk memanggilnya “Mo Met”. Waktu itu aku sempat bercanda “Mo, tebakan..Apa bedanya Mo Met dan Mumet ?”.

Beliau yang menguatkan dan meneguhkan aku waktu aku bimbang untuk menjalani proses ‘kawin campur’. Beliau yang membimbing aku saat aku bingung untuk mengambil langkah ketika hari perkawinan kami sudah dekat. Beliau juga yang dengan setia mengirim sms – sms peneguhan ketika aku hampir jatuh dan putus asa. Berkat beliau juga, proses pengurusan dokumen dan pemberkatan di gereja menjadi lebih mudah karena ternyata beliau kenal dengan romo paroki yang baru di gereja kami.

Ketika aku hendak memasuki ruang operasi untuk melahirkan anak pertama kami, beliau mengirimkan pesan singkat yang isi nya beliau ikut mendoakan keselamatan aku dan bayi kami. Beliau juga mengungkapkan keinginannya untuk dapat berkunjung ke Temanggung ketika beliau pulang ke Magelang nanti. Tetapi sayangnya ketika beliau pulang ke Magelang, aku sedang di luar kota.

Dunia memang sempit, setelah sekian lama kami tidak saling kontak. Tiba – tiba suatu siang hp ku berbunyi dan ternyata ada Sms dari romo Slamet “Ly, kamu kenal dengan Romo Mardi ? Ini beliau titip salam buatmu “.Ternyata saat itu beliau sedang ada pertemuan dengan romo Mardi dan beberapa Romo Projo. Waktu itu aku sempat membalas “Yah Romo , sedang rapat kok sempet – sempet nya kirim sms ke Lily ?” .

Beliau juga yang rajin mengirim sms kalau aku hendak bepergian dan menanyakan tentang keberadaan kami. Tak segan – segan juga beliau mengingatkan ku untuk memberitahu suami untuk hati – hati dalam mengemudi.

Begitu banyak kenangan yang telah beliau berikan. Begitu banyak peneguhan dan penguatan yang telah beliau berikan baik lewat kontak pribadi maupun lewat renungan – renungan dan tulisannya. Sekarang beliau sudah pergi untuk memasuki keabadian bersama Bapa di Surga.

Selamat Jalan, Mo. Selamat beristirahat dalam damai dan berbahagia bersama Bapa dan semua orang kudus di surga.

Temanggung, 14 Agustus 2010

Minggu, 25 Juli 2010

Share : Mengajar anak menahan keinginan dengan Menabung

Ide ini muncul ketika saya sudah mulai kerepotan untuk melakukan negosiasi dengan si kecil ketika suatu hari dia minta dibelikan mainan. Negosiasi yang dilakukan tidak membuat Damar mampu mengurungkan keinginannya untuk membawa mobil – mobilan itu pulang, tetapi membuat Damar mengeluarkan senjata andalannya yaitu menangis.

Pikir punya pikir, akhirnya munculah ide untuk mengajari Damar menabung. Discuss dengan sang Papa pun dilakukan untuk menyusun langkah – langkah selanjutnya ( hehe seperti mikir strategi perang aja yah ). Tinggal menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan ide itu. Bersabar….

Suatu hari, Hp saya berbunyi dan ternyata telpon dari Damar yang meminta saya untuk memberikan dia hadiah karena dia sudah berhasil meniti ( berjalan di atas bambu kecil ). Humm, saya ok-kan permintaannya dan berjanji akan mengajak dia membeli hadiah tersebut sepulang kerja.

Pulang kerja, kami bertiga meluncur ke sebuah toko mainan di kota. Tiba di sana, Damar segera memilih ‘hadiah’ yang dia minta. Pilih sana pilih sini, akhirnya pilihan dia jatuh ke mobil – mobilan yang dijalankan dengan pengungkit di salah satu ujung jalannya.

“Ade ingin hadiah ini? “ saya bertanya kepada Damar dan segera dijawab dengan anggukan kepalanya.

“Coba kita lihat harganya dulu yuk, De. Mama khawatir uang Mama gak cukup untuk membelinya. “

Kemudian kami sama – sama melihat price yang ada di balik dus mainan itu.

“Harganya Lima puluh ribu, De. Mama hanya punya uang Dua puluh ribu, berarti masih kurang tiga puluh ribu. Gimana ya De ?” , sambil pura – pura kebingungan saya bertanya kepada si kecil.

“Eh Ma, coba minta Papa, Ma. Mungkin Papa punya uang, Ma” , kata Damar sambil memandang Papa nya.

Papa membuka dompet kemudian berkata “Yah Papa juga sama seperti Mama, hanya punya uang dua puluh ribu. Kalau digabungin sama punya Mama, berarti masih kurang sepuluh ribu, De. Masih belum cukup untuk membeli mobil- mobilan itu. Gimana donk ?”

Hening sejenak.

“Eh gini aja De. Kita nabung dulu yuk, kita kumpulin uang dulu aja. Nanti Mama kasih Ade uang untuk ditabung tiap hari, uangnya nanti dimasukin ke celengan yang waktu itu kita beli itu lho. Nanti kalau uangnya sudah cukup, kita kembali lagi ke sini. Ok ?” , saya memandang Damar dengan berharap.

“Tapi Damar ingin beli mainan ini, Ma “, kata Damar dengan wajah memelas.

Dengan menguatkan hati untuk tidak bersimpatik pada si kecil, saya berkata ,” Iya, Mama tahu kalau Damar ingin membeli mobil itu. Tapi uang kita kan tidak cukup, sayang. Kita nabung dulu aja ya, Mama janji deh nanti kalau uangnya sudah cukup, kita akan kembali ke sini lagi.”

“Mama janji ya nanti kalau uangnya sudah cukup, Damar beli mainan itu” , kata Damar masih dengan wajah cemberut.

“Iya, Mama janji. Yuk kita janji ( sambil mengaitkan kelingking ku dengan kelingking Damar). Sekarang ayo kita pulang. Lets Go…”

Puji Tuhan, akhirnya berhasil juga. Satu langkah terlewati. Saya dan Papa saling memandang dan melempar senyum.

Esok paginya, saya beri uang seribu rupiah ke Damar untuk dimasukkan ke celengan. Hari pertama dan hari kedua, tidak ada pertanyaan dari Damar. Hari ketiga ketika Damar memasukkan uang tersebut ke celengan, Damar bertanya “uangnya sudah cukup belum ya Ma ?”

“Humm coba kita hitung dulu yuk..” , kataku sambil mengeluarkan uang yang ada dalam celengan.

“Seribu, dua ribu, tiga ribu …baru ada tiga ribu, De. Coba Ade hitung , kalau Ade perlu uang sepuluh dan Ade sekarang punya uang tiga, berarti Ade masih kurang uang berapa lagi supaya dapat sepuluh “.

“ade punya uang sepuluh ya Ma ( sambil menunjukkan kesepuluh jarinya ), terus Ade baru punya uang tiga. Berarti dikurangi tiga ya Ma jarinya ? “

“Iya , betul. Coba sekarang Ade hitung, berarti masih harus kumpulin uang berapa lagi ?”

“satu, dua, tiga, empat,lima, enam, tujuh ( sambil menghitung jari yang masih tegak setelah tiga jari dilipat ). Tujuh, Ma…”

“Iya, berarti Ade masih harus kumpulin 7 lembar uang seribuan lagi. Baru deh kita beli mainan itu. “

Setiap hari, Damar tidak bosannya bertanya dan menghitung jumlah uang yang terkumpul. Hingga tiba hari ke sepuluh, Damar menagih janjinya untuk membeli mainan yang dijanjikan. Jadilah sepulang kerja, kami bertiga pergi ke toko mainan itu lagi. Setiba di sana, Damar langsung mengambil mobil – mobilan itu dan dengan yakin memberikannya kepada saya.

“Ayo, Ma. Sekarang kita bayar mainan ini.”

“Ok “, kataku sambil berjalan menuju kasir.

Dalam perjalanan pulang, saya bertanya kepada Damar “ Damar sekarang sudah tahu kan manfaat dari menabung. Besok Damar menabung lagi ya, jadi kalau nanti Ade ingin beli mainan atau beli apa saja, Damar bisa ambil dari uang tabungan itu. Juga kalau misalnya uang Mama gak cukup seperti kemarin, Ade bisa ambil kekurangannya dari uang tabungan itu. Damar masih mau menabung gak besok ?”

“Masih, Ma. Damar masih mau menabung kok, nanti kalau uangnya sudah cukup kita beli laptop – laptopan yang tadi ya Ma”.

Temanggung, 25 July 2010