Kamis, 19 Agustus 2010

Benarkah Kita sudah Merdeka ?

Fiuh….akhirnya selesai juga latihan upacara untuk tanggal 17 Agustus nanti. Hari minggu yang biasanya buat bermalas – malasan, kali ini aku isi dengan latihan upacara di sekolah. Panas matahari yang menyengat membuat rasa hausku semakin menjadi. Terbayang es buah buatan Mama yang selalu menjadi menu buka puasa setiap hari. Segarrrr rasanya…..”Hummm mampir ke warung mbah Min dulu untuk minum es teh enak kali ya “, kataku dalam hati.

Tengok kanan , tengok kiri ..aman deh tidak ada orang di sekitarku. Aku segera beranjak ke warung mbah Min yang terletak di seberang sekolah dan memesan satu gelas es teh manis kesukaanku. Sebenarnya bukan kesukaanku sih, tetapi es teh selalu mengingatkanku akan seseorang yang hoby sekali dengan minuman ini. Kapanpun dan dimana pun dia tak pernah lupa untuk memesan minuman ini.

“Lho Kakak gak puasa ya ?”, tegur seseorang ketika aku hendak memasukkan sedotan ke mulutku.

“Andin, ngapain di sini ?”, tanyaku setelah hilang kekagetanku. Andin adalah anak Bi Inah, PA yang bekerja di rumah kami.

“Andin tadi sedang melihat latihan upacara di sekolah Kakak. Andin ingin sekali dapat mengikuti upacara lagi, Kak.”

“Hari Selasa besok kan Andin dapat ikut upacara untuk memperingati kemerdekaan Negara kita “ , kataku mengingatkan.

Andin terdiam mendengar kata – kataku dan menundukkan kepalanya. Tiba – tiba aku melihat ada butiran air jatuh dari kepala Andin yang tertunduk.

“Lho Andin ..Andin mengapa menangis ? Ada kata – kata Kakak yang salah ya ?”

Andin menggelengkan kepala dan tetap membisu. Aku biarkan Andin hingga Andin tenang dan menyelesaikan tangisnya. Tak lama kemudian Andin menghela napas dan mengangkat kepalanya.

“Andin sudah lama tidak sekolah , Kak. Ibu tidak punya uang untuk membiayai sekolah Andin. Untuk makan sehari – hari saja kami masih belum cukup,walaupun Ibu sudah dibantu oleh Kakak Andin. Kadang Andin hanya makan satu kali dalam sehari karena kalau Andin makan tiga kali , nanti adik – adik Andin yang tidak dapat makan kenyang”.

Kali ini giliran aku yang terdiam. Andin yang masih sekecil itu harus mengorbankan diri nya untuk adik – adiknya. Gadis kecil yang kuat,sedangkan aku ? Untuk menahan haus sebentar saja aku hampir gak bisa.

“Ayo Andin, Kakak antar Andin pulang. Andin mau kan gonceng Kakak naik sepeda ?”, ajakku setelah aku membayar segelas es teh yang tidak jadi aku minum tadi.

Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan karena takut angin atau lubang akan menjatuhkan tubuh Andin yang kurus. Ketika tiba di belokan jalan menuju rumah Andin, aku melihat banyak orang keluar dari sebuah rumah.

“Di kampung Andin sedang ada yang punya hajat ya ?” , tanyaku sambil menunjuk ke rumah tersebut.

“Mana Kak ? Ooo itu, itu bukan ada hajatan , Kak. Tetapi orang – orang itu baru saja selesai melakukan ibadat di situ. Tiap hari minggu kami selalu melakukan ibadat bersama walaupun berpindah – pindah tempatnya “.

“Oo begitu. Kakak kira ada yang punya hajat di sini. Jadi habis dari gereja setiap minggu nya, Andin dan yang lain kemudian berkumpul lagi untuk melakukan ibadat bersama ?”

“Bukan begitu, Kak. Kami mengadakan ibadat di rumah penduduk, karena kami tidak memiliki bangunan gereja. Kata Ibu sih dari waktu Ibu masih kecil , warga sudah mengajukan ijin untuk mendirikan gereja di sekitar sini sehingga kami tidak harus menempuh perjalanan 2 jam untuk mengikuti misa tiap minggu nya. Andin juga gak tau Kak, mengapa sampai sekarang gereja belum juga dibangun.”

Aku terdiam lagi mendengar penjelasan Andin. Gadis kecil yang benar – benar kuat dan tabah, begitu banyak kepahitan yang harus dia alami di usia nya yang masih sangat muda.

Akhirnya kami tiba juga di rumah Andin, sebuah rumah mungil yang sangat sederhana. Andin menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya yang mungil. Di halaman depan aku melihat ada dua anak kecil yang usianya lebih muda dari Andin. Mungkin mereka adik Andin, kataku dalam hati. Walaupun Bi Inah bekerja di rumah, aku tidak begitu tahu tentang keadaan dan keluarga Bi Inah.

Aku pandangi ruang tamu rumah mungil itu, genteng atap terlihat jelas. Lantai yang belum sempat di semen dan dinding bambu merupakan komponen yang mendukung berdirinya rumah mungil itu. Sepintas aku melihat foto seorang gadis berusia sekitar 17 tahun di dinding foto itu.

“Itu Kak Santi, Kakak Andin yang kerja di luar negeri sekarang. Tetapi Kak Santi sebentar lagi akan pulang dan gak mau pergi ke sana lagi . Kata Kak Santi, Kak Santi gak mau kerja di Negara yang sudah menjajah Negara kita diam – diam. Andin bingung kok Kak Santi bilang kalau Negara kita dijajah ya Kak? Kan di Negara kita tidak ada perang senjata dor..dor..dor..? “, tanya Andin sambil menatapku.

AKu tersenyum mendengar pertanyaan Andin.

“Menjajah itu beda dengan perang, Andin. Kalau yang Andin bilang tadi, itu adalah perang senjata. Kalau menjajah itu artinya menindas atau menyusahkan pihak lain. Memangnya Kak Santi kerja di Luar negeri nya dimana, Andin ?”

“Andin gak tahu, Kak. Tapi Andin ingat Ibu pernah bacain surat dari Kak Santi yang ada kata – kata tari pendet dan lagu Rasa Sayange , Kak”.

# # #

Itulah pengalaman ku hari ini, diary. Pengalaman yang sangat berharga dan membuka mata serta menyisakan sebuah pertanyaan yang tak dapat aku jawab “ Benarkah kita sudah merdeka ?”

Temanggung, 19 Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Selamat Jalan, Mo Met


“Romo Blas meninggal semalem, mba…”, begitu kata seorang teman begitu aku tiba di kantor. Seketika aku terdiam dengan pandangan tak percaya.

Segera ku buka facebook dan email untuk mencari kebenaran berita itu. Dan ternyata berita itu benar. Aku membaca tulisan dari Lini dan Mbak Ratna tentang kepergian beliau tadi malam jam 21.30 di RS Elisabeth Purwokerto.

Aku mengenal Romo Slamet lewat dunia maya, kami memang belum pernah bertatap muka secara langsung. Hanya lewat email, chatting, sms dan telpon. Waktu pertama berkenalan, beliau memintaku untuk memanggilnya “Mo Met”. Waktu itu aku sempat bercanda “Mo, tebakan..Apa bedanya Mo Met dan Mumet ?”.

Beliau yang menguatkan dan meneguhkan aku waktu aku bimbang untuk menjalani proses ‘kawin campur’. Beliau yang membimbing aku saat aku bingung untuk mengambil langkah ketika hari perkawinan kami sudah dekat. Beliau juga yang dengan setia mengirim sms – sms peneguhan ketika aku hampir jatuh dan putus asa. Berkat beliau juga, proses pengurusan dokumen dan pemberkatan di gereja menjadi lebih mudah karena ternyata beliau kenal dengan romo paroki yang baru di gereja kami.

Ketika aku hendak memasuki ruang operasi untuk melahirkan anak pertama kami, beliau mengirimkan pesan singkat yang isi nya beliau ikut mendoakan keselamatan aku dan bayi kami. Beliau juga mengungkapkan keinginannya untuk dapat berkunjung ke Temanggung ketika beliau pulang ke Magelang nanti. Tetapi sayangnya ketika beliau pulang ke Magelang, aku sedang di luar kota.

Dunia memang sempit, setelah sekian lama kami tidak saling kontak. Tiba – tiba suatu siang hp ku berbunyi dan ternyata ada Sms dari romo Slamet “Ly, kamu kenal dengan Romo Mardi ? Ini beliau titip salam buatmu “.Ternyata saat itu beliau sedang ada pertemuan dengan romo Mardi dan beberapa Romo Projo. Waktu itu aku sempat membalas “Yah Romo , sedang rapat kok sempet – sempet nya kirim sms ke Lily ?” .

Beliau juga yang rajin mengirim sms kalau aku hendak bepergian dan menanyakan tentang keberadaan kami. Tak segan – segan juga beliau mengingatkan ku untuk memberitahu suami untuk hati – hati dalam mengemudi.

Begitu banyak kenangan yang telah beliau berikan. Begitu banyak peneguhan dan penguatan yang telah beliau berikan baik lewat kontak pribadi maupun lewat renungan – renungan dan tulisannya. Sekarang beliau sudah pergi untuk memasuki keabadian bersama Bapa di Surga.

Selamat Jalan, Mo. Selamat beristirahat dalam damai dan berbahagia bersama Bapa dan semua orang kudus di surga.

Temanggung, 14 Agustus 2010